Di tempat saya part-time (tentang part-time ini mungkin akan ada tulisan tersendiri ya) ada sesi sharing tiap Jumat sore. Yang sharing digilir tiap orang dan kebetulan minggu kemarin adalah jadwal saya. Saya bingung mau sharing apa, seminggu kemarin fokus saya berat di TA hehe. Ada buku yang menarik, tapi belum selesai dibaca, belum lagi takut temanya kurang mengenai sasaran. Video di TED juga banyak yang bisa dijadiin bahan sharing tapi saya belum sempet nontonnya.
Saya pun teringat artikel yang saya temukan di medium beberapa minggu yang lalu dan akhirnya memilih untuk sharing isi artikel tersebut. Artikelnya berjudul “If You’re Too Busy For These 5 Things: Your Life Is More Off-Course Than You Think” Artikel ini cukup berkesan buat saya karena membahas kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering diabaikan padahal penting buat meraih kesuksesan. Hal-hal kecil, kalau dibiarkan pasti akan jadi hal besar. Ga cuma menyebutkan kebiasaan-kebiasaan apa aja, tapi juga alasan dibalik pentingnya kebiasaan itu.
Sharing saya biasa-biasa aja sih (orang cuma bacain poin-poin artikel hehe). Yang menarik adalah ketika diskusinya (yang juga menjadi salah satu alasan saya senang dengan suasana di tempat part-time saya, #RGB). Bermula dari ka Damas yang bercerita tentang orang-orang yang sukses, kalau diamati, mereka konsisten melakukan satu hal terus menerus dalam waktu yang lama. Kenapa mereka bisa konsisten?
Konsisten.
Untuk yang konsisten, saya sendiri masih bertanya-tanya kenapa orang yang sukses bisa konsisten melakukan suatu hal terus menerus? Kenapa konsisten itu sulit? Kenapa hal-hal kecil yang dilakukan terus menerus lebih baik daripada hal besar tapi hanya sekali?
Sejauh ini saya masih berpendapat, kalau konsisten seperti itu berguna untuk membentuk kebiasaan. Lalu, apa pentingnya kebiasaan? Menurut saya, kebiasaan itu semacam versi auto-pilot-nya manusia. Jadi, ketika ada distraksi yang menyebabkan seorang manusia ga bisa berpikir dengan benar, si auto-pilot ini yang akan menjalankan manusia. Makanya, kebiasaan itu harus yang baik-baik, jadi kalau terjadi apa-apa hidup kita masih terjaga dengan adanya auto-pilot itu. Kalau diingat-ingat, sepertinya auto-pilot yang saya bicarakan ini seperti fungsinya alam bawah sadar ya (belum sempat riset tentang ini, mohon diralat kalau salah).
Selain itu, untuk kebiasaan baik, ketika kita mulai terlalu sibuk dan ngga sempat melakukannya, bisa memunculkan perasaan bersalah karena udah meninggalkan kebiasaan tersebut. Harapannya rasa bersalah itu jadi alarm kita untuk kembali ke jalur yang benar. Beda dengan yang tidak konsisten, atau mudah memberi alasan (excuse) untuk tidak melakukan sesuatu. Sekali kita memberi kesempatan untuk tidak konsisten, katanya untuk berikut-berikutnya akan mudah saja buat tidak melakukan hal itu karena dalam pikiran sudah tertanam “Toh waktu itu juga udah ga dilakuin” dan alasan yang sama akan digunakan terus menerus sampai mungkin akhirnya lupa dengan kebiasaan tersebut.
Kesuksesan.
Lalu untuk kesuksesan yang punya definisinya beragam, saya cuma ingin menuliskan hasil diskusi dengan kakak saya ketika minggu lalu dan beberapa dari hasil pengalaman bertemu orang-orang yang menurut saya inspiratif.
Kesuksesan itu lebih dari kita menjadi lebih hebat dari orang lain. Kesuksesan itu ketika kita bisa lebih baik dari diri kita sendiri versi sebelumnya, entah itu diri kita tahun lalu, sebulan yang lalu, sehari yang lalu, atau mungkin sedetik yang lalu. Ketika begitu, saingan kita adalah diri kita sendiri. Saingan dengan diri sendiri misalnya lebih rajin dari sebelumnya, mengurangi jam menunda, dan sebagainya. Saya kepikiran kalau kita udah bisa menang dari diri kita versi sebelumnya, apapun target kita harusnya bisa tercapai.
Lalu apakah kita ga perlu bersaing dengan orang lain? Menurut saya ngga perlu-perlu amat. Saya percaya tiap orang itu berbeda-beda, punya tujuan masing-masing, dan rezekinya pun sudah diatur oleh Allah untuk masing-masing. Membandingkan dengan orang lain mungkin perlu, tapi jangan sampai terlalu fokus pada orang lain. Kadang dalam persaingan, ketika terlalu fokus pada orang lain, kita jadi ngga fokus pada usaha sendiri. Seperti kutipan yang saya post sebelumnya
“Rivalry causes us to overemphasize old opportunities and slavishly copy what has worked in the past.”
Peter Thiel – Zero to One
Lebih baik memfokuskan diri pada tujuan yang ingin dicapai agar bisa maksimal. Lalu muncul pertanyaan lagi, “Batas maksimal itu sampai mana?” Kita diminta untuk berusaha maksimal, padahal maksimal itu rasanya sulit diukur seperti ibarat “di atas awan masih ada awan”. Saya pernah mendengar pendapat untuk jangan berhenti sampai kamu puas dengan hasil karya yang kamu kerjakan. Selama ini saya masih setuju dengan pendapat tersebut. Untuk hal yang dilakukan untuk diri sendiri, misalnya ujian, ini masuk akal, karena kita jadi ga perlu mikirin ekspektasi orang lain yang mana ga ada orang yang pernah puas, pasti selalu minta lebih. Kadang ekspektasi orang lain juga mempengaruhi ke kita, bisa pengaruh baik atau buruk. Ada yang bilang kalau kita ga bisa memuaskan semua pihak. Kalau saya sih lebih baik fokus ke diri sendiri daripada kata orang lain yang belum tentu benar (pengecualian buat orang-orang terdekat dan orang yang lebih ahli hehe :p )
Ok, sepertinya banyak juga ya tulisan saya kali ini hehe. Silahkan apabila ada yang ingin berpendapat, bisa diisi form komentarnya~
Sekian dari saya, semoga bermanfaat 😀